- Sinopsis
Novel ini bekisah tentang kisah cinta dua anak manusia. Hubungan indah itu terjalin semenjak mereka sama-sama duduk disebuah SMA di
2. Kutipan
Getaran dikursinya semakin melambat, seakan mengalah pada detak jantungnya yang kian kuat. Diluar jendela langit masih gelap. Ibu tua yang duduk yang duduk didepannya tetap saja tertidur pulas, sementara matanya sendiri terus terbuka dalam delapan jam terakhir.
Tiba-tiba tubuhnya terhentak kedepan. Untung saja Laila berpegangan pada lengan kursi sehingga tidak sampai terjatuh. Dilihatnya orang-orang mulai berdiri dengan barang bawaan masing-masing, termasuk ibu tua itu.
Dengan travel bag ditangan, ia turun dari gerbong kereta. Pandangannya menerawang ke seluruh stasiun. Tak ada Pram. Tapi justru ia akan heran bila laki-laki itu menjemputnya. Bunda Vina sudah ia wanti-wanti agar tak memberi tahu anaknya mengenai rencana kepergiannya ke
Biarlah ini menjadi kejutan yang menyenangkan…atau menyedihkan, Pram?
Sesampai dipintu keluar, Laila langsung naik taksi yang pertama kali ditemuinya. “mas, tolong antar ke Jalan Let. Jend. S. Parman.”
“Ya, Mbak,” sahut sopir itu dibalik setir. Tak lama, mobil yang membawa keduanya semakin menjauhi stasiun.
Apa yang dilihatnya dari balik jendela taksi yang sedang melaju berbeda dengan apa yang dilihatnya saat kemari sewaktu masih kecil dulu. Jalan-jalan kini penuh dengan pengendara sepeda motor. Beberapa diantara mereka menutup setengah wajahnya dengan kain untuk berlindung dari asap kendaraan yang mengepul. Sangat sedikit orang yang melintas dengan menggunakan sepeda kumbang. Laila merasa sayang dengan perubahan itu.
Matahari pagi mulai menerangi
Kamar hotel nomor
Setelah dua puluh menit menunggu, Laila melihat seorang lelaki berdasi mengendarai sepeda kumbang dari sebelah kiri jalan. Pengendara sepeda itu beberapa kali membunyikan bel padahal tak ada yang menghalangi jalannya. Jarak pun semakin dekat dan wajahnya semakin dekat terlihat. Ya…laila sangat mengenalnya. Pram terlihat sehat, bahkan bersemangat.
Tiba-tiba Laila merasakan lututnya lemas. Seluruh persendiannya seperti tidak berfungsi. Cepat-cepat tangan Laila mencengkeram erat tirai jendela., menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Ingin segera ia keluar kamar, menuruni tangga hotel,menyeberang jalan dan memelik lelaki itu, meminta maaf serta menagis sejadi-jadinya. Ingin segera ia cegah lelaki itu masuk kantor dan mengajaknya pulang. Ingin segera ia panggil namanya dari jendela.
Kerinduan tebal yang ia bendung berbulan-bulan bisa saja ia lepaskan saat itu juga. Tapi tidak, pikirnya. Ia harus bersabar, menunggu waktu yang tepat.
Tapi adakah waktu yang tepat dari saat ini ?
Kemudian Laila berdiri di depan cermin persegi yang terpasang di dinding kamar. Rambutnya tampak berantakan dan pakaiannya terlihat kusut. Matanya merah. Ia tahu, ia harus mandi dan berganti pakaian.
Beberapa tamu memandang ke arahnta, termasuk bell boy itu.mereka jelas-jelas tampak terpesona dengan kehadiran Laila di lobi hotel.
Sambil duduk di kursi rotan cantik, ia hirup sisa susu cokelat di gelasnya. Ia telah mandi dan berganti pakaian yang menurutnya terbaik untuk keadaan saat ini. Rok berempel selutut dan blus lengan pendek berwarna putih. Guess kado ulang tahun yang keduapuluh
Pukul sembilan lebih tiga pulu menit. Hatinya kini mantap untuk menemui Pram. Lalu ia bangkit dari kursi, berjalan dari pintu hotel dan diseberanginya jalan. Laila melihat sepeda kumbang itu masih terparkir ditempat yang sama. Seorang resepsionis perempuan menyambutnya ramah saat Laila memasuki kantor itu.
“Saya ingin bertemu Phrameswara,”jawab Laila saat ditanyai maksud kedatangannya.
“Bapak berangkat dengan rombongan ke Sleman sejak satu jam lalu, sejak meninjau proyek di
Laila menimbang-nimbang. Kemudian ia putuskan untuk kembali lagi nanti sore. “kalau bapak kembali tolong jangan beri tahu dahulu beliau tentang kedatangan saya,” ujarnya pada resepsionis itu. Walau kecewa tak berhasil menemuinya, Laila merasa lucu juga dengan panggilan “Bapak” untuk Pram. Sewaktu hendak berjalan keluar, resepsionis itu memanggilnya lagi.
“Nama Mbak…Laila, bukan ?” Tanya resepsionis itu agak ragu.
“Benar,” jawab Laila dengan pandangan heran.
“Pantas saya merasa familiar dengan wajah Mbak. Tapi ternyata Mbak Laila lebih cantik dari lukisannya,”
Lukisan ?
LUKISAN seorang perempuan berseragam sekolah itu telah berpindah tempat sejauh ratusan kilometer. Hati Laila bergetar saat melihatnya terpampang di dinding ruang kerja Pram. Resepsionis yang bernama ninuk menemaninya masuk kesana.
“Ruang kerja Bapak selalu terbuka untuk siapa saja,” katanya tadi. Mendengar itu, Laila memilih untuk melihat-lihat ruang kerja Pram sebelum kembali ke hotel.
Setelah beberapa saat terdiam, Laila bertanya, “Mbak Ninuk tau nama saya dari Bapak ?”
Iya, dan hampir semua yang pernah masuk kemari. Soalnya, kami semua suka dengan lukisan ini. Mulanya, Bapak sering mengelak kalau ditanya siapa perempuan cantik itu. Lama-lama, baru Bapak memberi tahu.”
Pantas saja saat ia dan Ninuk berjalan kemari, beberapa karyawan kantor memandangnya aneh seakan berusaha menebak apa yang sedang ia lihat. Mungkin mereka sama dengan Ninuk, merasa familiar, pikirnya.
Laila masih ingat bagaimana ia pernah meminta lukisan itu kepada Pram.
“Kamu boleh minta apa saja, asal jangan lukisan ini,” jawab Pram waktu itu.
“Kalau begitu, aku minta cokelat silverqueen…sepuluh”.
“Hmmm…., ambil aja lukisannya…., tapi ambil sendiri. Tangga lipatku dipinjam tetangga sebela.”
Dering telepon di meja resepsionis memecah lamunan Laila. “Saya akan segera kembali,” kata Ninuk kepadanya.
Laila palingkan wajahnya dari lukisan itu. Pandangannya menerawang ke segala penjuru ruangan. Kemudian ia sentuh lemari buku, kursi dan meja kerja yang ada di
Ada apa denganmu, Laila ? Tinggal berapa jam saja, dan kamu akan bertemu dengannya.
Suara langkah sepatu yang cepat terdengar semakin mendekat. Tubuh mungil resepsionis iti muncul kembali, tapi kali dengan ekspresi yang menunjukan kesedihan. Wajahnya pucat pasi. “Mbak Laila,” katanya dengan suara yang bergetar. ” Bapak mengalami kecelakaan.”
BULAN juli seperti mengingkari janji. Siang ini adalah hari ketiga hujan gerimis turun di
Laila berdiri di depan gapura dengan pandangan beredar ke segala penjuru. Mungkin karena hujan gerimis yang tidak juga reda, pemakaman Cikutra begitu sepi dari peziarah.
Kemudian Laila berjalan menyusuri jalan setapak yang becek sambil berlindung dibawah payung hitamnya. Kakinya ia langkahkan dengan hati-hati agar tidak menginjak makam-makam disana yang tersusun padat. Bahkan beberapa diantaranya hampir tak berjarak.
Berdasarkan peta yang diberikan ibunya, Laila dapat segera menemukan makam itu. Beberapa rangkaian bunga beraneka warna berada diatasnya. Batu nisannya tampak masih baru. Walaupun sudah siap untuk menghadapi hal ini, tetap saja dadanya terasa sesak sewaktu matanya membaca tulisan yang terukir disana.
Setelah membaca doa ziarah, Laila pandangi makam itu sambil berdiri disampingnya. Didalam hati ada sejuta hal yang ingin ia sampaikan kepada Pram. Kini, jarak mereka sudah begitu dekat, tapi alam mereka sudah berbeda. Kemudian Laila berbicara seakan-akan lelaki itu masih hidup dan hanya berbaring didepannya.
3. Ulasan Intrinsik
Tema : Percintaan (roman)
Tokoh : Laila Indahsari, Phrameswara, Badra (Bapak Laila), Agni (Ibu Laila), Sas (Bapak Pram), Ravina (Ibu Pram), Diana, Farid, Burhan (Bubung), Ipung, Zainal, Ago, Yusuf, Zoel, Pepen, Frankie, Mbok Karti, Adry, Gum, Triwanto, Rudy, Himawan, Seno Adji, Pak Zainal, Tunku Mahmood Iskandar Ibni Almarhum Sutan Ismail, Encik Abdul, Razali, Rahman, Mu cien, Sabrina, Intan, dr, Budi dan Ninuk.
Latar :
Alur : Alur maju dan Alur mundur
Amanat : - Sebelum menentukan sebuah keputusan sebaiknya dipikirkan dan dipertimbangkan baik-baik sehingga jangan sampai kita menyesal di kemudian hari.
- Ketika kita mencintai seseorang janganlah berlebihan atau melebihi cinta kita terhadap Tuhan dan orang tua, karena cinta yang seperti itu suatu saat bisa terjadi sebaliknya.